a. Hati akan
dipenuhi dengan keimanan kepada Allah
Seorang yang
qana’ah akan yakin terhadap ketentuan yang ditetapkan Allah ta’ala sehingga
diapun ridha terhadap rezeki yang telah ditakdirkan dan dibagikan kepadanya.
Hal ini erat kaitannya dengan keimanan kepada takdir Allah. Seorang yang
qana’ah beriman bahwa Allah ta’ala telah menjamin dan membagi seluruh rezeki
para hamba-Nya, bahkan ketika sang hamba dalam kondisi tidak memiliki apapun.
Sehingga, dia tidak akan berkeluh-kesah mengadukan Rabb-nya kepada makhluk yang
hina seperti dirinya.
Ibnu Mas’ud
radhilallahu ‘anhu pernah mengatakan,
إِنَّ أَرْجَى مَا أَكُونُ لِلرِّزْقِ إِذَا قَالُوا لَيْسَ فِي الْبَيْتِ
دَقِيقٌ
“Momen yang
paling aku harapkan untuk memperoleh rezeki adalah ketika mereka mengatakan,
“Tidak ada lagi tepung yang tersisa untuk membuat makanan di rumah” [Jami’ul
‘Ulum wal Hikam].
إِنَّ أَحْسَنَ مَا أَكُونُ ظَنًّا حِينَ يَقُولُ
الْخَادِمُ: لَيْسَ فِي الْبَيْتِ قَفِيزٌ مِنْ قَمْحٍ وَلَا دِرْهَمٌ
“Situasi
dimana saya mempertebal husnuzhanku adalah ketika pembantu mengatakan, “Di
rumah tidak ada lagi gandum maupun dirham.” [Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
(34871); Ad Dainuri dalam Al Majalisah (2744); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah
(2/97)].
Imam Ahmad
mengatakan,
أَسَرُّ أَيَّامِي إِلَيَّ يَوْمٌ أُصْبِحُ وَلَيْسَ
عِنْدِي شَيْءٌ
“Hari yang
paling bahagia menurutku adalah ketika saya memasuki waktu Subuh dan saya tidak
memiliki apapun.” [Shifatush Shafwah 3/345].
b. Memperoleh
kehidupan yang baik
Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan” [An-Nahl: 97].
Kehidupan yang
baik tidaklah identik dengan kekayaan yang melimpah ruah. Oleh karenanya,
sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kehidupan yang baik
dalam ayat di atas adalah Allah memberikannya rezeki berupa rasa qana’ah di
dunia ini, sebagian ahli tafsir yang lain menyatakan bahwa kehidupan yang baik
adalah Allah menganugerahi rezeki yang halal dan baik kepada hamba [Tafsir
ath-Thabari 17/290; Maktabah asy-Syamilah].
Dapat kita lihat
di dunia ini, tidak jarang, terkadang diri kita mengorbankan agama hanya untuk
memperoleh bagian yang teramat sedikit dari dunia. Tidak jarang bahkan kita
menerjang sesuatu yang diharamkan hanya untuk memperoleh dunia. Ini menunjukkan
betapa lemahnya rasa qana’ah yang ada pada diri kita dan betapa kuatnya rasa
cinta kita kepada dunia.
Tafsir kehidupan
yang baik dengan anugerah berupa rezeki yang halal dan baik semasa di dunia
menunjukkan bahwa hal itu merupakan nikmat yang harus kita usahakan. Harta yang
melimpah ruah sebenarnya bukanlah suatu nikmat jika diperoleh dengan cara yang
tidak diridhai oleh Allah. Tapi sayangnya, sebagian besar manusia berkeyakinan
harta yang sampai ketangannya meski diperoleh dengan cara yang haram itulah
rezeki yang halal. Ingat, kekayaan yang dimiliki akan dimintai
pertanggungjawaban dari dua sisi, yaitu bagaimana cara memperolehnya dan
bagaimana harta itu dihabiskan. Seorang yang dianugerahi kekayaan melimpah ruah
tentu pertanggungjawaban yang akan dituntut dari dirinya di akhirat kelak lebih
besar.
c. Mampu
merealisasikan syukur kepada Allah
Seorang yang
qana’ah tentu akan bersyukur kepada-Nya atas rezeki yang diperoleh.
Sebaliknya barangsiapa yang memandang sedikit rezeki yang diperolehnya, justru
akan sedikit rasa syukurnya, bahkan terkadang dirinya berkeluh-kesah. Nabi pun
mewanti-wanti kepada Abu Hurairah,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ
قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ
“Wahai Abu
Hurairah, jadilah orang yang wara’ niscaya dirimu akan menjadi hamba yang
paling taat. Jadilah orang yang qana’ah, niscaya dirimu akan menjadi hamba yang
paling bersyukur” [HR. Ibnu Majah: 4217].
Seorang yang
berkeluh-kesah atas rezeki yang diperolehnya, sesungguhnya tengah
berkeluh-kesah atas pembagian yang telah ditetapkan Rabb-nya. Barangsiapa yang
mengadukan minimnya rezeki kepada sesama makhluk, sesungguhnya dirinya tengah
memprotes Allah kepada makhluk. Seseorang pernah mengadu kepada sekelompok
orang perihal kesempitan rezeki yang dialaminya, maka salah seorang diantara
mereka berkata, “Sesungguhnya engkau ini tengah mengadukan Zat yang
menyayangimu kepada orang yang tidak menyayangimu” [Uyun al-Akhbar karya Ibnu
Qutaibah 3/206].
d. Memperoleh
keberuntungan
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa seorang yang qana’ah akan
mendapatkan keberuntungan.
Fudhalah bin
Ubaid radhiallalahu ‘anhu pernah mendengar nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,
طُوبَى لِمَنْ هُدِيَ إِلَى الإِسْلَامِ، وَكَانَ عَيْشُهُ كَفَافًا وَقَنَعَ
“Keberuntungan
bagi seorang yang diberi hidayah untuk memeluk Islam, kehidupannya cukup dan
dia merasa qana’ah dengan apa yang ada” [HR. Ahmad 6/19; Tirmidzi 2249].
Abdullah bin Amr
mengatakan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ، وَرُزِقَ كَفَافًا، وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا
آتَاهُ
“Sungguh
beruntung orang yang memeluk Islam, diberi rezki yang cukup dan Allah
menganugerahi sifat qana’ah atas apa yang telah diberikan-Nya” [HR. Muslim:
1054; Tirmidzi: 2348].
e. Terjaga dari berbagai dosa
Seorang yang
qana’ah akan terhindar dari berbagai akhlak buruk yang dapat mengikis habis
pahala kebaikannya seperti hasad, namimah, dusta dan akhlak buruk lainnya.
Faktor terbesar yang mendorong manusia melakukan berbagai akhlak buruk tersebut
adalah tidak merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan, tamak akan dunia
dan kecewa jika bagian dunia yang diperoleh hanya sedikit. Semua itu berpulang
pada minimnya rasa qana’ah.
Jika seseorang
memiliki sifat qana’ah, bagaimana bisa dia melakukan semua akhlak buruk di
atas? Bagaimana bisa dalam hatinya timbul kedengkian, padahal dia telah ridha
terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah?
Abdullah bin
Mas’ud radhiallalhu ‘anhu mengatakan,
الْيَقِينُ أَنْ لَا تُرْضِيَ النَّاسَ بِسُخْطِ اللَّهِ، وَلَا تَحْسُدَ
أَحَدًا عَلَى رِزْقِ اللَّهِ، وَلَا تَلُمْ أَحَدًا عَلَى مَا لَمْ يُؤْتِكَ
اللَّهُ، فَإِنَّ الرِّزْقَ لَا يَسُوقُهُ حِرْصُ حَرِيصٍ، وَلَا يَرُدُّهُ
كَرَاهَةُ كَارِهٍ، فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى – بِقِسْطِهِ وَعِلْمِهِ
وَحُكْمِهِ – جَعَلَ الرَّوْحَ وَالْفَرَحَ فِي الْيَقِينِ وَالرِّضَا، وَجَعَلَ
الْهَمَّ وَالْحُزْنَ فِي الشَّكِّ وَالسُّخْطِ
“Al Yaqin
adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan kemurkaan Allah, engkau tidak
dengki kepada seorangpun atas rezeki yang ditetapkan Allah, dan tidak mencela
seseorang atas sesuatu yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sesungguhnya rezeki
tidak akan diperoleh dengan ketamakan seseorang dan tidak akan tertolak karena
kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah ta’ala –dengan keadilan, ilmu, dan
hikmah-Nya- menjadikan ketenangan dan kelapangan ada di dalam rasa yakin dan
ridha kepada-Nya sserta menjadikan kegelisahan dan kesedihan ada di dalam
keragu-raguan (tidak yakin atas takdir Allah) dan kebencian (atas apa yang
telah ditakdirkan Allah)” [Diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dalam Al Yaqin (118)
dan Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman (209)].
Sebagian ahli
hikmah mengatakan, “Saya menjumpai yang mengalami kesedihan berkepanjangan
adalah mereka yang hasad sedangkan yang memperoleh ketenangan hidup adalah
mereka yang qana’ah” [Al Qana’ah karya Ibnu as-Sunni hlm. 58].
f. Kekayaan
sejati terletak pada sifat qana’ah
Qana’ah adalah
kekayaan sejati. Oleh karenanya, Allah menganugerahi sifat ini kepada nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah ta’ala berfirman,
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فأغنى
“Dan Dia
menjumpaimu dalam keadaan tidak memiliki sesuatu apapun, kemudian Dia member
kekayaan (kecukupan) kepadamu” [Adh-Dhuha: 8].
Ada ulama yang
mengartikan bahwa kekayaan dalam ayat tersebut adalah kekayaan hati, karena
ayat ini termasuk ayat Makkiyah (diturunkan sebelum nabi hijrah ke Madinah).
Dan pada saat itu, sudah dimaklumi bahwa nabi memiliki harta yang minim [Fath
al-Baari 11/273].
Hal ini selaras
dengan hadits-hadits nabi yang menjelaskan bahwa kekayaan sejati itu letaknya
di hati, yaitu sikap qana’ah atas apa yang diberikan-Nya, bukan terletak pada
kuantitas harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ، وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Kekayaan itu
bukanlah dengan banyaknya kemewahan dunia, akan tetapi kekayaan hakiki adalah
kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)” [HR. Bukhari: 6446; Muslim: 1051].
Abu Dzar
radhiallalhu ‘anhu mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bertanya, “Wahai Abu Dzar apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itu
adalah kekakayaan sebenarnya?” Saya menjawab, “Iya, wahai rasulullah.” Beliau
kembali bertanya, “Dan apakah engkau beranggapan bahwa kefakiran itu adalah
dengan sedikitnya harta?” Diriku menjawab, “Benar, wahai rasulullah.” Beliau
pun menyatakan, “Sesungguhnya kekayaan itu adalah dengan kekayaan hati dan
kefakiran itu adalah dengan kefakiran hati” [HR. An-Nasaai dalam al-Kubra:
11785; Ibnu Hibban: 685].
Apa yang
dinyatakan di atas dapat kita temui dalam realita kehidupan sehari-hari. Betapa
banyak mereka yang diberi kenikmatan duniawi yang melimpah ruah, dapat
digunakan untuk memenuhi kebutuhan diri dan keturunannya selama berpuluh-puluh
tahun, namun tetap tidak merasa cukup sehingga ketamakan telah merasuk ke dalam
urat nadi mereka. Dalam kondisi demikian, bagaimana lagi dia bisa perhatian
terhadap kualitas keagamaan yang dimiliki, bukankah waktunya dicurahkan untuk
memperoleh tambahan dunia?
Sebaliknya,
betapa banyak mereka yang tidak memiliki apa-apa dianugerahi sifat qana’ah
sehingga merasa seolah-olah dirinyalah orang terkaya di dunia, tidak
merendahkan diri di hadapan sesama makhluk atau menempuh jalan-jalan yang haram
demi memperbanyak kuantitas harta yang ada.
Rahasianya
terletak di hati sebagaimana yang telah dijelaskan. Oleh karena pentingnya
kekayaan hati ini, Umar radhilallahu ‘anhu pernah berpesan dalam salah satu
khutbahnya,
تَعْلَمُونَ أَنَّ الطَّمَعَ فَقْرٌ، وَأَنَّ الْإِيَاسَ غِنًى، وَإِنَّهُ
مَنْ أَيِسَ مِمَّا عِنْدَ النَّاسِ اسْتَغْنَى عَنْهُمْ
“Tahukah kalian
sesungguhnya ketamakan itulah kefakiran dan sesungguhnya tidak berangan-angan
panjang merupakan kekayaan. Barangsiapa yang tidak berangan-angan memiliki apa
yang ada di tangan manusia, niscaya dirinya tidak butuh kepada mereka” [HR.
Ibnu al-Mubarak dalam az-Zuhd: 631].
Sa’ad bin Abi
Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berwasiat kepada putranya, “Wahai putraku,
jika dirimu hendak mencari kekayaan, carilah dia dengan qana’ah, karena qana’ah
merupakan harta yang tidak akan lekang” [Uyun al-Akhbar : 3/207].
Abu Hazim
az-Zahid pernah ditanya,
مَا مَالُكَ؟
“Apa hartamu”,
beliau menjawab,
لِي مَالَانِ لَا
أَخْشَى مَعَهُمَا الْفَقْرَ: الثِّقَةُ بِاللَّهِ، وَالْيَأْسُ مِمَّا فِي
أَيْدِي النَّاسِ
“Saya memiliki
dua harta dan dengan keduanya saya tidak takut miskin. Keduanya adalah
ats-tsiqqatu billah (yakin kepada Allah atas rezeki yang dibagikan) dan tidak
mengharapkan harta yang dimiliki oleh orang lain [Diriwayatkan Ad Dainuri dalam
Al Mujalasah (963); Abu Nu'aim dalam Al Hilyah 3/231-232].
Sebagian ahli
hikmah pernah ditanya, “Apakah kekayaan itu?” Dia menjawab, “Minimnya
angan-anganmu dan engkau ridha terhadap rezeki yang mencukupimu” [Ihya ‘Ulum
ad-Diin 3/212].
g. Memperoleh
kemuliaan
Kemuliaan
terletak pada sifat qana’ah sedangkan kehinaan terletak pada ketamakan. Mengapa
demikian, karena seorang yang dianugerahi sifat qana’ah tidak menggantungkan
hidupnya pada manusia, sehingga dirinya pun dipandang mulia. Adapun orang yang
tamak justru akan menghinakan dirinya di hadapan manusia demi dunia yang hendak
diperolehnya. Jibril ‘alaihissalam pernah berkata,
يَا مُحَمَّدُ شَرَفُ الْمُؤْمِنِ قِيَامُ اللَّيْلِ وَعِزُّهُ اسْتِغْنَاؤُهُ
عَنِ النَّاسِ
“Wahai Muhammad,
kehormatan seorang mukmin terletak pada shalat malam dan kemuliaannya terletak
pada ketidakbergantungannya pada manusia” [HR. Hakim: 7921].
Al Hasan
berkata,
لَا تَزَالُ كَرِيمًا عَلَى النَّاسِ – أَوْ لَا يَزَالُ النَّاسُ يُكْرِمُونَكَ مَا لَمْ
تُعَاطِ مَا فِي أَيْدِيهِمْ، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ اسْتَخَفُّوا بِكَ،
وَكَرِهُوا حَدِيثَكَ وَأَبْغَضُوكَ
“Engkau akan
senantiasa mulia di hadapan manusia dan manusia akan senantiasa memuliakanmu
selama dirimu tidak tamak terhadap harta yang mereka miliki. Jika engkau
melakukannya, niscaya mereka akan meremehkanmu, membenci perkataanmu dan
memusuhimu” [Al-Hilyah: 3/20].
Al Hafizh Ibnu
Rajab mengatakan,
وَقَدْ تَكَاثَرَتِ الْأَحَادِيثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِالْأَمْرِ بِالِاسْتِعْفَافِ عَنْ مَسْأَلَةِ النَّاسِ
وَالِاسْتِغْنَاءِ عَنْهُمْ، فَمَنْ سَأَلَ النَّاسَ مَا بِأَيْدِيهِمْ، كَرِهُوهُ
وَأَبْغَضُوهُ؛ لِأَنَّ الْمَالَ مَحْبُوبٌ لِنُفُوسِ بَنِي آدَمَ، فَمَنْ طَلَبَ
مِنْهُمْ مَا يُحِبُّونَهُ، كَرِهُوهُ لِذَلِكَ
“Begitu
banyak hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk
bersikap ‘iifah (menjaga kehormatan) untuk tidak meminta-minta dan tidak
bergantung kepada manusia. Setiap orang yang meminta harta orang lain, niscaya
mereka akan tidak suka dan membencinya, karena harta merupakan suatu hal yang
amat dicintai oleh jiwa anak Adam. Oleh karenanya, seorang yang meminta orang
lain untuk memberikan apa yang disukainya, niscaya mereka akan membencinya”
[Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam 2/205].
Kepemimpinan
dalam agama yang identik dengan kemuliaan pun dapat diperoleh jika seorang
‘alim tidak menggantungkan diri kepada manusia, sehingga mereka tidak
direpotkan dengan berbagai kebutuhan hidup yang dituntutnya. Seyogyanya manusia
membutuhkan sang ‘alim karena ilmu, fatwa dan nasehatnya. Mereka bukannya butuh
ketamakan dari sang ‘alim. Seorang Arab badui pernah bertanya kepada penduduk
Bashrah,
مَنْ سَيِّدُ أَهْلِ هَذِهِ الْقَرْيَةِ؟ قَالُوا: الْحَسَنُ، قَالَ: بِمَا
سَادَهُمْ؟ قَالُوا: احْتَاجَ النَّاسُ إِلَى عِلْمِهِ، وَاسْتَغْنَى هُوَ عَنْ
دُنْيَاهُمْ
“Siapa tokoh
agama di kota ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al Hasan.” Arab badui bertanya
kembali, “Dengan apa dia memimpin mereka?” Mereka menjawab, “Manusia butuh
kepada ilmunya, sedangkan dia tidak butuh dunia yang mereka miliki” [Jami’
al-‘Ulum wa al-Hikam 2/206].
Sumber: Al
Qana’ah, Mafhumuha, Manafi’uha, ath-Thariqu ilaiha karya Ibrahim bin Muhammad
al-Haqil disertai beberapa penambahan.