Musibah adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengukur keimanan hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ
“Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31).
Kesabaran sangat dibutuhkan tatkala kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah ialah mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala dan ganti yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita membaca doa tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِصِيْبَتِي وَأَخْلِفُ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
“Tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu musibah lalu membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (yaitu), ‘Sesungguhnya kami milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada-Nya jualah kita akan dikembalikan. Ya Allah, berilah pahala pada musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik darinya’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada yang sebelumnya.’” (HR. Musim, 4/475, at-Tirmidzi, 11/417, Ahmad, 33/82).
Dengan demikian, sungguh sangatlah indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua perkara yang menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun musibah— semuanya adalah baik baginya, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sifatkan dalam sabdanya,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan perkara (urusan) orang muslim, semua perkara (urusan)nya baik dan hal itu tidaklah terjadi kecuali pada diri seorang muslim. Apabila diberi kenikmatan ia bersyukur maka hal itu baik baginya. Dan apabila ditimpa kesulitan ia bersabar maka hal itu pun baik baginya.” (HR. Muslim. 14/280).
Beratnya cobaan sering menjadikan manusia lupa dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita semua adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kepada-Nya pulalah kita akan dikembalikan. Namun, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini, sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat. Mereka berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga melalaikan dirinya sendiri. Bahkan, terkadang mereka berteriak-teriak histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh syariat, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
“Bukan termasuk golongan kami seorang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliah.” (HR. Bukhari, 5/41, at-Tirmidzi, 4/119, an-Nasa’i, 6/408).
Bersedih adalah suatu kewajaran terutama karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai. Akan tetapi, janganlah kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعَ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا
“Mata boleh menangis, hati boleh bersedih, tetapi kita tidak berkata-kata kecuali hanya (dengan perkataan) yang diridhai oleh Rabb (Tuhan –ed.) kita.” (HR. al-Bukhari: 5/57).
Memang, setang sangatlah lihai dalam mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. adz-Dzariyat: 55).
Hanya saja, cara kita memberikan nasihat harus benar-benar diperhatikan. Cara menasihati seorang waliyul-amri (penguasa) berbeda dengan cara menasihati rakyat. Menasihati orang tua berbeda dengan cara menasihati anak kita sendiri. Demikian pula, cara menasihati seorang yang alim yang memiliki pengaruh dan ucapan yang didengar oleh masyarakat hendaklah berbeda dengan cara kita menasihati seorang yang awam. Hendaklah menasihati dengan cara yang lembut, dengan kata-kata yang halus, dan tidak dilakukan di depan khalayak ramai, sebagaimana yang telah dilakukan wanita tersebut. Mudah-mudahan dengan itu mereka akan tersadar dan kembali pada jalan yang benar. Karena, seorang alim bukanlah orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan. Mereka pun manusia biasa yang banyak melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاؤٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat darinya.” (HR. at-Tirmidzi, 9/59, Ibnu Majah, 12/302, Ahmad, 26/123).
Red* Al Fattah.